Saturday, September 29, 2012

Demam Pada Anak

Leave a Comment

Demam merupakan salah satu keluhan utama yang paling sering disampaikan orang tua pada waktu membawa anaknya ke dokter atau ke tempat pelayanan kesehatan. Beragam penyakit memang biasanya dimulai dengan manifestasi berupa demam, terutama penyakit infeksi pada umumnya, juga dehidrasi, gangguan pusat pengatur panas, keracunan termasuk oleh obat, proses imun, dan sebagainya. Sebanyak 10-15% anak yang dibawa ke dokter adalah karena demam. Demam pada umumnya tidak berbahaya tetapi demam tinggi dapat membahayakan. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa 95% ibu merasa khawatir bila anaknya demam.
Demam merupakan salah satu gejala yang diperlukan dalam menentukan diagnosis. Penilaian demam dengan menggunakan termometer masih jarang dilakukan oleh ibu di rumah. Penelitian di Arab Saudi mendapatkan hanya 24% ibu menggunakan termometer. Penilaian suhu tubuh yang paling banyak (94%) dilakukan ibu justru dengan menggunakan perabaan. Hal tersebut menjadi kendala untuk mendapatkan data yan-g obyektif tentang demam. Tidak semua demam memerlukan antipiretika karena demam justru merupakan petunjuk bahwa pada anak sedang terjadi proses penyakit.


Pada umumnya demam dengan suhu yang tidak tinggi tidak membahayakan. Di luar negeri sebagian besar anak yang demam ditangani sendiri oleh ibu dengan memberi antipiretika (48%) dan hanya 18% saja yang dibawa ke dokter atau sarana kesehatant. Tindakan ibu memberikan antipiretika dipengaruhi oleh kekhawatiran akan bahaya demam, pemahaman ibu tentang demam dan hambatan yang terjadi. Di samping itu golongan antipiretika tertentu (parasetamol atau ibuprofen) merupakan tindakan pertolongan pertama yang praktis dan cukup aman pada anak yang menderita demam yang cukup tinggi oleh sebab penyakit apapun, sebelum mencari pertolongan dokter atau pusat pelayanan kesehatan. Sementara itu ibu harus mampu mendeteksi apakah demam pada anaknya memang perlu diberi terapi atau hanya pengawasan. Demikian pula apakah demam telah turun sehingga tidak perlu pemberian antipiretika lagi.

Pengertian Demam
Demam atau pireksia merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang berarti api (pyro). Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas normal yang disebabkan perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh. Suhu normal tubuh berbeda tergantung dari daerah pengukuran. Batasan normal suhu tubuh antara lain sebagai berikut :
  1. Temperatur oral berkisar antara 33,2 – 38,20C
  2. Temperatur rektal berkisar antara 34,4 – 37,80C
  3. Temperatur aksila berkisar antara 35,5 – 37,50C
  4. Temperatur membran timpani berkisar pada 35,4– 37,80C

Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai faktor; antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperature ruangan, tingkat aktivitas, dan sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan terjadinya demam. Sebagai contoh, peningkatan suhutubuh pada seseorang akan meningkat pada keadaan peningkatan metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal tersebut tidak didefinisikansebagai demam, karena pusat pengaturan suhu tubuh di otak berada pada batas normal.

Jenis dan Tipe Demam
     Sampai saat ini, dikenal beberapa tipe demam, yaitu :

1.   Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang tidak lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain;demam dengue, demam tifoid, pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis, gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.


2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 10C.  Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid,malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam intermiten, yaitu :
  • Demam quotidian
          Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan demam tifoid




  • Demam tertian
          Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malariatertiana (Plasmodium vivax)
  • Demam quartan
          Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malariakuartana (Plasmodium malariae)





3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.


4. Demam berjenjang (step ladder fever )
Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada demam tifoid.


5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback )
Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit,seperti demam dengue, yellow fever ,Colorado tick fever , Rit valley fever,dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.


6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin,dimana terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.


7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.


Penatalaksanaan Demam
Tidak semua kasus demam harus diturunkan dengan segera, tidak sedikit kasus demam yang turun dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Walau begitu, demam tentu saja tidak membuat pasien merasa nyaman, bahkan terkadang jika tidak diturunkan dapat meningkat tiba-tiba ke level yang membahayakan. Menurut data statistik yang ada, kerusakan pada otak pada umumnya terjadi jika suhu tubuh mendekati 420C (107,60F). Secara umum, pasien yang mengalami demam akan disarankan untuk meningkatkan hidrasi, karena demam juga dapat merupakan salah satu manifestasi dari dehidrasi tubuh, selain itu peningkatan hidrasi terbukti dapat membantu menurunkan demam. Resiko hiponatremia relatif yang disebabkan oleh peningkatan masukan cairan dapat dikurangi dengan menggunakan formula cairan rehidrasi oral yang sesuai, dengan kadar elektrolit seimbang. Penanganan sederhana lain yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan kompres hangat pada daerah peredaran darah besar; misalnya dileher, ketiak, dan lipat inguinal. Tujuan kompres hangat pada daerah tersebut ialah untuk membuat hangat daerah sekitar pembuluh darah besar tersebut,dan kemudian akan menghangatkan darah itu sendiri. Keadaan tersebut akan merangsang pusat pengaturan suhu untuk menurunkan termostat ke titik yang lebih rendah dari sebelum, sehingga manifestasi yang dapat kita lihat pada pasien yaitu proses berkeringat dan kulit yang memerah (flushing),karena vasodilatasi pembuluh darah, sebagai upaya pembuangan panas tubuh.
Medikasi yang utama untuk penatalaksanaan demam ialah dengan pemberian antipiretik. Contoh antipiretik yang sering digunakan untuk kasus demam antara lain; parasetamol, ibuprofen, dan asam asetilsalisilat. Pada beberapa sumber mengatakan antipiretik asam asetil salisilat dan ibuprofen lebih efektif untuk penatalaksanaan demam pada anak, sekaligus mengurangi gejala prodromal lain yang menyertai demam, karena efek analgetiknya lebih kuat dibandingkan dengan parasetamol. Namun begitu, asam asetil salisilat dan ibuprofen memiliki resiko perdarahan lambung dan gangguan agregasi trombosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, obat tersebut tidak dianjurkan untuk diberikan pada kasus demam yangdisertai perdarahan, misalnya pada demam berdarah dengue, purpura trombositopenik idiopatik, ulkus peptikum, dan lain-lain. Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 380C.  Orang tua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara automatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angkatermometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan,antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang merugikan. Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :
1.   Demam lebih dari 390C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.
2.   Demam lebih dari 40,50C
3.   Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi,memerlukan antipiretik.
4.   Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.
1. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral; misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria. Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin,hanya parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itutidak digunakan pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yangdigunakan untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, makaakan tercapai konsentrasi efek antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-8 jam.Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit, puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekurendalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam. Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan mempunyai interaksi denganparasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta bloker,dan klopromazin.

2.Ibuprofen
Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai puncak konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 20C selama 3-4 jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah parasetamol.Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan dengan demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut. Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya.Di pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dansedikit lebih sering dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih rendah daripada aspirin.Anak yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala, bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan perawatan suportif secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

3.Salisilat

Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70% sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosissetara terbukti kedua kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yangsama tetapi aspirin lebih efektif sebagai analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar air atau dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih digunakan secara luas di berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang. Kekurangan utama aspirin adalah tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan efek samping lebih tinggi daripada parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan insidensi interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan resiko perdarahan), metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan terhambatnya metabolisme natrium valproat).Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai berikut :

 1.   Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15 mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari, oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.
 2.   Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artritis reumatoid yangmendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.
3.   Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.

Kontraindikasi pemberian aspirin
a)   Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin dapat menyebabkan sindrom Reye.
b)   Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan iniaspirin dapat menyebabkan anemia hemolitik.
c)   Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos salurannapas.
d)  Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi trombosit yang bersifat reversibel. Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah< 20 mg/100 mL, umumnya dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis menunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik. Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Cetakan ke-dua belas. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Jakarta, 2007.

Poerwoko, dkk. Demam pada anak: perabaan kulit, pemahaman dan tindakan ibu. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGM : Yogyakarta, 2003.

Roespandi H, dr., Nurhamzah W, dr. Buku Saku Panduan Pelayanan KesehatanAnak di Rumah Sakit, Cetakan I. Tim Adaptasi Indonesia-WHO : Jakarta, 2009.

Soedarmo SSP, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Edisi 2. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta, 2010.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment



.