Friday, September 28, 2012

Deteksi Dini Tuli Kongenital

Leave a Comment

Tuli Kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1–0,3% kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan Departmen Kesehatan di 7 Provinsi pada tahun 1994–1996 sebesar 0,1%. Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 (PGPKT, 2007). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir hidup di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya (PGPKT, 2007).


Pengertian Tuli Kongenital
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi pada seorang bayi dan disebabkan oleh faktor- faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar. Tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi/ amplifikasi.

Patofisiologi Tuli Kongenital
Ketulian yang terjadi pada masa kehamilan biasanya tipe sensori neural dan jarang terjadi daritipe lain. Perkembangan alat pendengaran terjadi normal, akan tetapi karena suatu sebab maka pertumbuhannya akan menyimpang atau mengalami gangguan sebelum berkembang. Ketulian yang terjadi sangat bergantung pada usia kehamilan, seberapa jauh sistem pendengaran menjadi rusak atau terganggu, serta berat ringannya pun tergantung dari penyebab gangguan pertumbuhan pendengaran. Kerusakan ini biasanya irreversibel karena itu hendaknya kita berhati-hati bila menghadapi wanita hamil.

Faktor Risiko Tuli Kongenital
A. Masa Prenatal
1. Genetik herediter
Pada riwayat keluarga ditemukan ketulian . Secara garis besar dapat dibagi atas :
  • Aplasia (agenesis)

Anak terlahir tuli karena beberapa organ terutama organ telinga dalam tidak terbentuk. Selain organ telinga dalam yang tidak terbentuk, organ lain juga ada yang terganggu pembentukannya. Sindroma ini diberi nama sesuai dengan nama orang yang menemukannya 
     
 Sindroma Modini            : tidak terbentuknya dengan sempurna labirin bagian tulang dan bagian          membran.
Sindroma Scheibe           : labirin bagian membran terjadi aplasia.

Sindroma Alexander       : koklea bagian membran terjadi aplasia.Dengan demikian, pada kelainan-kelainan tersebut akan terjadi tuli total, sehingga anak tersebut harus diberikan pendidikan khusus untuk mengembangkan bahasa dan bicaranya. Belajar berbicara dilakukan dengan mengamati atau merasakan fibrasi dari tiap-tiap arti kata yang diucapkan oleh pendidiknya, terutama ibunya. Pendidikan ini disebut auditory training (belajar bicara). Selain itu, anak harus segera di integrasikan ke dalam lingkungannya untuk mendapat pendidikan dari masyarakat sekelilingnya.

  •  Abiotrofi
Kelainan ini disebut juga tuli heredodegenerasi atau tuli heredodegenerasi syaraf; kadang-kadang disebut pula tuli keturunan sebelum tua (presenil familial deafness). Terjadi proses degenerasi yang progresif di dalam koklea pada masa anak-anak ataupun setelah dewasa. Abiotrofiini hanya dapat terjadi di telinga saja, jadi gejalanya hanya tuli saraf, atau kadang-kadang juga dapat disertai kelainan di organ lain, sehingga merupakan suatu sindroma. Ketulian pada abiotrofi ini terkadang hanya terdapat pada frekuensi tinggi saja karena yang mengalami degenerasi hanya bagian basal dari koklea, sehingga disebut juga "presbyacusis praecox". Tetapi, dapat juga proses degenerasinya juga dapat terjadi di stria vaskularis dan akan menyebabkan ketulian disemua frekuensi, karena sel-sel rambutnya tidak mendapat makanan dan akan mengalami atrofi.

  • Aberasi kromosom
Di sini terjadi penyimpangan dari kromosom yang dapat menyebabkan ketulian. Penyimpangan kromosom ini dikenal sebagai "TRISOMI". Trisomi adalah adanya ekstra kromosom yang menyebabkan anomali dan menyebabkan terjadinya ketulian,; yang sering ada ialah : trisomi 12 dan 18 atau golongan D dan E. Karena adanya penyimpangan dari kromosom, biasanya kelainannya tidak hanya terjadi di telinga saja, tetapi juga di organ lain bahkan sering terjadi di organ vital, sehingga anak tidak dapat bertahan hidup lama dan meninggal pada usia muda.

2. Non herediter
Kerusakan sistem pendengaran pada janin yang tidak disebabkan faktor keturunan, seperti: itu dapat disebabkan :
a.       Obat-obatan
Pemberian obat-obatan yang bersifat ototoksik dan teratogenik yang berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea. Obat-obatan tersebut antara lain :
  • Streptomisin dengan derivatnya.
  • Aminoglikosid dan derivatnya > 5 hari.
  • Kinin.
  • Preparat salisil.
b.       Keracunan waktu hamil
Toksemia gravidarum atau hiperemesis gravidarum.
c.       Infeksi bakteri maupun virus
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCHS (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), campak, dan parotitis dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
d.       Penyakit yang menahun
Seperti lues, diabetes, tirotoksikosis, yang diderita oleh ibu hamil dapat menyebabkan ketulian pada janin.

B. Masa perinatal
Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran / ketulian antara lain berat bayi lahir rendah (<2500gram), lahir prematur, hiperbilirubinemia, asfiksia, APGAR skor <4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan atau apgar skor <6 pada menit kelima, penggunaan ventilasi mekanik >5hari, tindakan dengan alat pada proses kelahiran (eksraksi vakum, forsep) maupun persalinan yang sukar atau persalinan yang lama yang dapat menyebabkan anoksia oleh karena tali pusat melingkar kepala, ataupun terjadinya obstruksi dari jalan nafas yang dapat menyebabkan kerusakan dari koklea.

C. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada teliga tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan ketulian.

D. Idiopatik
Meskipun faktor risiko yang disebutkan diatas merupakan suatu indikasi untuk dilakukan pemeriksaan, tetapi di lapangan ditemukan bahwa 5% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia 3 bulan.

Cara diagnosa Tuli Kongenital
            Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila :
Usia 12 bulan                : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
Usia 18 bulan                : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan               : perbendaharaan kata < 10 kata
Usia 30 bulan                : belum dapat merangkai 2 kata
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :
1.         Bunyi pss-pss untuk menggambarkan suara frekuensi tinggi
2.         Bunyi uh-uh untuk menggambarkan frekuensi rendah
3.         Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir ( frekuensi 4000 Hz)
4.         Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekuensi 900 Hz)
5.         Suara remasan kertas (frekuensi 6000 Hz)
6.         Suara bel (frekuensi puncak 2000 Hz)
Saat ini OAE (Otoaccoustic Emission) dan AABR (Automatic Audiometry Brainstem Response) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold standar) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif, dan sensitivitas mendekati 100%.


Hal penting yang diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada gangguan pada telinga tengah. Kendala yang ditemukan adalah sarana ini tidak dimiliki oleh semua Rumah Sakit Propinsi.
Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting adalah BOA (Behavioural Observation Audiometry), yaitu untuk melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik, dan persepsi. Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaan sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan. Pemberian alat bantu dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya pada usia 1,5 hingga 2 tahun mulai dilatih di sarana pendidikan (taman latihan khusus). Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program implantasi koklear dengan persyaratan tertentu.
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi atau anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal, seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih sulit, memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu, pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi / anak dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik.

Komplikasi Tuli Kongenital
Anak dengan tuli unilateral mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi sumber suara dan mendengar di tempat yang sangat terlalu ribut, dimana sang anak akan kesulitan dalam kegiatan sekolah. Diantara anak tersebut, Diantaranya angka kegagalan sekolah, melamun, kesusahan dalam konsentrasi susah berkonsentrasi dan peningkatan masalah perilakumasalah perilaku meningkat.
Anak dengan tuli bilateral mengalami keterbatasan dalam menerima dan mengekspresikan kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan berhitung. Penderita tuli akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, sedikit kesempatan dalam mencari penghasilan, dikucilkan, batasan berbahasa yang akan berakibat pembatasan grup sosial dan pengurangan kualitas hidup.

Jadi, kenalilah gangguan pendengaran pada anak anda sedini mungkin, agar tidak sampai terjadi komplikasi-komplikasi yang tidak diharapkan,.. :)



L to R : Agung, Me, Mbak Anis, Kurnia, Intan, Yana, Kak Ila, Mamlu, Adiz, Adi
Penyuluhan DDTK di desa Sidowarek, Jombang,..
Yang duduk di deretan bawah ketiga dari kiri adalah pembimbing kami, Dr.Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), yang telah banyak membantu kami selama penyuluhan berlangsung,.. ^^




DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Stephanie Moody. 2009. Genetic Sensorineural Hearing Loss. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/855875-overview

Okhakhu, Amina L, et all. Neonatal Hearing Screening in Benin City. Nigeria : Elsevier. 2010


PGPKT. Tuli Kongenital dalam Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Jakarta : PGPKT. 2007 : 46-47.

Soepardjo, Harry. 1985. Sebab-Sebab Ketulian Dipandang dari Sudut THT. Diunduh dari www.kalbe.co.id/fi;es/cdk/files/cdk_039_problema_dan_tatalaksana_kekurangan_pendengaran.pdf

Suwento, et al. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Teilinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007 : 31-38.

Undip. 2009. Gangguan Pendengaran. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/29093/3/Bab_2.pdf.




Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment



.